Ckstar.id – Analisis mengenai kontroversi yang melibatkan komika Pandji Pragiwaksono dan kritik terhadapnya usai menyinggung adat Toraja. Menilik kembali batas-batas etika dalam komedi stand-up.

Ketika Batasan Komedi Bersentuhan dengan Sentimen Budaya

Stand up comedy di Indonesia telah berkembang pesat menjadi salah satu bentuk hiburan yang paling populer dan berani dalam menyentil isu-isu sosial, politik, hingga budaya. Namun, popularitas ini seringkali di iringi dengan risiko kontroversi. Komika ternama, Pandji Pragiwaksono, baru-baru ini menghadapi gelombang kecaman yang masif setelah materi lawaknya di nilai menyinggung dan merendahkan salah satu aspek sakral dalam Adat Toraja.

Kasus ini kembali memicu perdebatan panjang di ruang publik mengenai batas-batas kebebasan berekspresi dalam komedi, dan seberapa jauh seorang komika dapat menggunakan isu sensitif budaya sebagai bahan tertawaan tanpa merusak rasa hormat terhadap komunitas tertentu.

BACA JUGA : Biodata Lengkap Tulus: Penyanyi dengan Lirik Puitis

Kontroversi: Mengapa Adat Toraja Jadi Titik Sensitif?

Kecaman terhadap Pandji muncul terkait materi yang menyinggung ritual adat pemakaman Rambu Solo di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Rambu Solo adalah upacara pemakaman yang sangat kompleks, sakral, dan membutuhkan biaya besar, melibatkan pengorbanan kerbau dan babi sebagai bagian dari ritual keagamaan dan penghormatan kepada leluhur yang meninggal.

  • Aspek Kesakralan: Bagi masyarakat Toraja, Rambu Solo bukan hanya sekadar acara; ini adalah manifestasi dari keyakinan, status sosial, dan penghormatan yang mendalam terhadap leluhur. Prosesi ini di yakini sebagai jalan untuk mengantar arwah ke Puya (alam baka). Menyentil ritual sakral ini tanpa konteks yang tepat di anggap sebagai bentuk pelecehan terhadap nilai-nilai inti komunitas tersebut.
  • Persepsi Humor dan Penghinaan: Meskipun komedi sering menggunakan ironi dan exaggeration (dramatisasi) untuk menyoroti keanehan sosial, menggunakan ritual budaya sebagai bahan punchline dapat di persepsikan sebagai penghinaan, apalagi jika konteks sosial ekonomi yang melatarbelakangi upacara (misalnya, biaya yang mahal) tidak di pahami secara mendalam. Komedi yang berhasil harus mampu membuat orang tertawa, bukan merasa di rendahkan.

Etika Komedi dan Tanggung Jawab Komika

Kasus ini kembali mengangkat pertanyaan filosofis dalam dunia stand up comedy: Apa tanggung jawab seorang komika?

1. Membedakan Observational dan Offensive

Komedi observasi (observational comedy) adalah melihat fenomena sosial sehari-hari dari sudut pandang yang lucu. Namun, ada garis tipis antara mengamati fenomena dan melabeli atau merendahkan praktik budaya. Komika yang sukses harus mampu menjaga tone agar kritik sosial tidak berubah menjadi bigotry atau cultural insensitivity.

2. Konteks dan Target Audiens

Materi lawak yang di sampaikan di hadapan audiens yang homogen mungkin di terima. Namun, di era digital, setiap materi yang di sampaikan oleh komika besar seperti Pandji memiliki dampak global. Materi yang sensitif perlu di sampaikan dengan konteks yang sangat hati-hati, terutama ketika menyangkut isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Komika memiliki tanggung jawab untuk menyadari platform dan jangkauan audiensnya yang luas.

3. Cancel Culture atau Kritik yang Mendasar?

Meskipun beberapa pihak menganggap kecaman ini sebagai bagian dari cancel culture. Banyak yang melihatnya sebagai kritik yang sah dan mendasar terhadap ketidakpekaan budaya. Komunitas yang merasa tersinggung memiliki hak untuk menyuarakan ketidaknyamanan mereka. Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa humor tidak boleh menjadi alat untuk menjustifikasi insensitivity terhadap kelompok minoritas atau praktik budaya yang sakral.

Respon dan Upaya Restorasi

Sebagai seorang komika profesional, respon terhadap kecaman menjadi sangat penting. Pengakuan atas kesalahan dan upaya untuk menjalin komunikasi dengan komunitas yang tersinggung adalah langkah yang diperlukan untuk restorasi.

Meskipun tekanan dari kecaman daring bisa sangat hebat, respon yang menunjukkan empati, pemahaman terhadap rasa sakit yang ditimbulkan. Dan juga komitmen untuk belajar dari kesalahan seringkali lebih berharga daripada upaya pembelaan diri. Kasus ini bukan hanya tentang salah atau benar dalam komedi, tetapi tentang bagaimana komedi dapat berinteraksi dengan keragaman sosial dan budaya Indonesia tanpa menimbulkan perpecahan.

Kontroversi yang menimpa Pandji Pragiwaksono harus dijadikan momentum bagi seluruh komunitas stand up comedy di Indonesia untuk merefleksikan kembali batasan-batasan etika dalam materi mereka. Stand up comedy adalah alat yang kuat untuk kritik dan perubahan sosial, namun kekuatan tersebut harus digunakan dengan kebijaksanaan. Mempertimbangkan nilai-nilai luhur dan sensitivitas budaya yang sangat beragam di Nusantara.